Selasa, 28 Juli 2009

KH. M Syarif Hidayatullah (Lauw Sin Hoat)

Kata orang bijak, buku adalah jendela dunia, dengan buku kita dapat melihat realitas kehidupan dan menangkap kebenaran. Adagium ini ternyata berlaku dan di alami oleh Lauw Sin Hoat (kini - H. Muh. Syarif Hidayatullah - salah seorang Pengurus DPP PITI) yang terbuka "jendela hati" nya untuk menerima hidayah Allah karena tergugah setelah membawa buku.

Saya lahir 28 Desember 1949 di Cisalak, Bogor, dari keluarga Tionghoa yang beragama Budha-Konghucu. Sejak kecil saya sudah sering menyaksikan upacara-upacara ritual masyarakat Tionghoa, seperti upacara kematian, nyekar (ziarah) ke kubur para leluhur dan lain-lain.

Dengan logika bocah, saya sering melontarkan pertanyaan kritis kepada mama saya terhadap banyak hal yang menyangkut upacara ritual yang saya anggap tidak masuk akal, seperti memberikan sesajen yang terdiri dari makanan dan buah-buahan ke kubur para leluhur. Konon menurut mama saya, para leluhur yang sudah mati, juga membutuhkan makanan seperti orang hidup.

Tetapi anehnya setelah beberapa hari saya lihat, tidak satupun diantara makanan itu yang disentuh alias masih utuh. Setelah saya mencoba mencicipi jeruk yang masih utuh tadi, saya tidak merasakan suatu keanehan. Artinya jeruk itu tetap tidak berubah. Sejak itu, keraguan yang memang telah lama terpendam, semakin tidak dapat dibendung. Hati saya gelisah, saya ingin mencari kebenaran.

Didaerah Cisalak, orang tua saya membuka rumah makan (restauran). Di rumah milik orang tua saya inilah sering datang seorang pendeta yang menjadi pelanggan tetap. Ia memimpin jemaat di Gereja Pantekosta. Kebetulan gereja itu tidak jauh dari restauran orang tua saya.

Karena sudah akrab, Pak Pendeta tadi sering mengundang mama saya untuk ikut kebaktian ke gereja. Tapi, karena mama saya sibuk mengurus restauran, beliau tidak sempat mengikutinya. Akhirnya, pak pendeta mengajak saya yang waktu itu baru duduk dikelas satu SMP. Setelah beberapa kali ikut kebaktian, sayapun resmi dibaptis dan menjadi jemaat Geraja Pantekosta.

Untuk beberapa saat keresahan saya dapat terobati. Apalagi saya termasuk anggota koor lagu-lagu rohani di Gereja Pantekosta itu, cukup lama sekita enam tahun. Tapi sejalan dengan bertambahnya usia, pemikiran sayapun makin tajam dan kritis. Semakin mendalami ajaran agama Kristen, saya makin banyak menemukan sesuatu yang saling bertolak belakang. Seperti soal khitan (sunat), misalnya.

Dalam Lukas 2:21, tersebutlah, "Dan, ketiga genap delapan hari dan ia harus disunatkan, ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut malaikat sebelum ia dikandung ibu-Nya", tetapi ayat ini dibantah oleh Paulus dalam Galatia 5:2, "Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu, 'Jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu'".

Bagi orang mau berfikir mendalam, memang akan sulit untuk dapat menerima dua pernyataan (statement) yang berbeda ini. Kesimpulan saya, mengikuti Yesus yang disunat pada umur delapan hari atau mengikuti ucapan Paulus ?

Pada salah satu Injil ada disebutkan bahwa Yesus pernah berkata, "Sebarkan Injil dimuka bumi." tetapi pada bagian lainnya Yesus justru berkata sebaliknya, "Aku tidak diutus kecuali untuk domba-domba Israel yang tersesat.".

Sebagai seorang Kristen, logika saya tidak dapat menerima paham Trinitas sebagai konsepsi ketuhanan; Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Figur Isa Almasih dalam Injil sering berubah status dan kedudukan. Kadang-kadang ia disebut Yesus Sang Juru Selamat (rasul) tetapi Yesus juga diyakini sebagai Tuhan.

Lukas 23:46 menceritaklan saat-saat menjelang kematian Yesus ditiang salib, seperti tertulis, lalu Yesus berseru dengan suara nyaring, "Ya Bapa, kedlaam tangan-Mu Kuserahkan nyawaKu." Dan, sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawaNya.

"Kalau Yesus memang Tuhan, mengapa ia memanggil Tuhan Bapa ? kalau begitu Yesus bukan Tuhan" kata saya membatin. Kesaksian saya selama ini bahwa Yesus adalah Tuhan, sirna sudah. Saya semakin meragukan iman Kristen saya sendiri.

Hidayah Melalui Buku

Dalam keraguan, pada suatu hari, secara kebutulan saya singgah ke sebuah toko buku di daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Padangan saya segera tertarik melihat sebuah buku yang terpajang di etalase toko dengan judul Muhammad dalam Bibel dan Isa salam Al-Qur'an karangan Prof. Drs. Hasbullah Bakry SH. Saya segera tertarik, maka saya membeli buku itu.

Buku itu ternyata amat menarik Saya seperti mendapatkan sesuatu yang baru selama ini sedang saya cari. Misalnya penulis buku mengungkapkan bahwa risalah (kerasulan) Muhammad telah termaktub dalam Bibel, tetapi bagian ayat itu dihilangkan bahkan sekarang ini Bibel tesebut sudah dilarang digunakan atau dijadikan rujukan.

Selanjutnya, penulis buku (Prof. Drs. Hasbullah Bakry SH.) juga mengungkapkan bahwa AL-Qur'an dan kaum muslimin menempatkan Isa Almasih (yang oleh orang Kristen disebut Yesus) sebagai nabi dan rasul Allah, sama seperti rasul-rasul lain. Ia (Isa) sama sekali bukan Tuhan.

Pada bagian akhir buku itu, penulis menutupnya dengan tiga buah ayat, yaitu Surat Ali Imran: 19 yang menjelaskan bahwa agama yang diterima disisi Tuhan hanyalah al-Islam, dan keengganan Para Ahli Kitab untuk beriman kepada Al-Qur'an hanyalah disebabkan kedengkian semata.

Pernyataan itu lebih dipertegas lagi seperti termaktub pada surat Ali Imran: 84 yang menyebutkan, barang siapa yang mencari agama selain al-Islam, maka tidak akan diterima dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.

Sedangkan surat Al Maa'idah:3 mengunci semua argumentasi yang ada, yaitu bahwa Allah telah mencukupkan nikmatnya kepada manusia dan telah menyempurnakan Islam sebagai agama buat seluruh umat manusia, dan Islamlah agama yang diridhoi-Nya.

Mengucap Syahadat

Demi mebaca buku itu, terbukalah hidayah Allah kepada saya. Saya memang telah meragukan iman Kristen saya, merasa mendapatkan jawabannya dalam Islam. Tekad saya sudah bulat, saya harus masuk Islam, apapun yang terjadi.

Singkatnya atas bantuan tetangga-tetangga saya diperkenalkan kepada seorang ulama didaerah Cisalak, namanya KH. Marzuki. Oleh beliau saya mendapat penjelasan yang benar tentang Islam. Maka tidak lama setelah itu, tahun 1968, saya mengikrarkan dua kalimat syahadat dibimbing KH. Marzuki. Setelah itu saya mengganti nama Muhammad Syarif Hidayatullah.

Ihwal keIslaman saya ini akhirnya sampai juga jetelinga orang tua. Anehnya pada saat memilih Islam, mama saya justru baru saja masuk Kristen (sebelumnya Konghucu). Mendengar saya telah menjadi seorang muslim, mama marah besar sehingga timbul perang dingin antara saya dan mama.

Banyak kejadian yang terjadi setelah itu, setelah situasi agak reda, saya memutuskan untuk masuk pesantren memperdalam ilmu agama. Beberapa pesantren di Jawa Barat, seperti di Sukanegara Jonggol, Ciharahas Cianjur, Kadukawung Banten pernah saya singgahi dalam rangka memperdalam agama.

Redaksi : KH. M. Syarif Hidayatullah adalah seorang anggota DPP PITI dan juga MUI dan aktif juga sebagai mubalig. (Hamzah, mualaf.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar