Selasa, 28 Juli 2009

Yap Gin Liang : Mengikuti jejak Sang Kakek

Lahir di Jakarta,16 Mei 1937 dari keluarga Cina Hokkian. Sejak SD sampai SLTA is bersekolah di lingkungan masyarakat Cina. Pendidikan SLTA-nya dilalui di Chinesse Commercial School, sebuah sekolah khusus untuk mencetak kader-kader pengusaha bagi pemuda-pemuda Cina. Tetapi, panggilan jiwanya yang kuat kepada dunia seni telah membuyarkan harapan orang tuanya yang menghendaki agar ia menjadi seorang pengusaha.

Karena pilihan saya yang total ke dalam dunia seni, menyebabkan ekonomi keluarga jadi morat-marit. Selama hampir 10 tahun, sejak tahun 60-an, saya tidak pemah merasa sebagai orang asing dalam lingkungan seniman. Menurut saya, dunia seni tidak mengenal batasan golongan. Saya bisa menyaksikan, sekaligus merasakan bahwa para seniman yang berasal dari WNI keturunan, seperti juga diri saya, tidak pernah mendapatkan hambatan dalam mengembangkan karir di dunia seni. Di antara mereka adalah Tan Ceng Bok alias Mat Item, Yo Kim San alias Usman Effendi, Fifi Young, dan lain-lain.

Karena lingkungan pergaulan di-sekolah, membuat saya akrab dengan agama Kristen Protestan, tetapi tidak sempat membuat saya menjadi Kristen yang saleh, karena banyak di antara dogma ajarannya yang tidak dapat diterima pikiran. Akhirnya, saya lebih memilih menekuni dunia seni.

Tetapi, dunia seni pun ternyata tidak mampu memenuhi dahaga rohani saya yang kehausan. Seni yang saya geluti selama itu, tidak mampu menjawab persoalan hidup sesudah mati. Akan ke mana manusia sesudah mati?

Beruntung, salah seorang teman saya yang juga seorang muslim Tionghoa, dapat menangkap kegundahan saya. Akhirnya kami sering terlibat dalam diskusi-diskusi yang serius. Tanpa menggurui, sahabat saya yang Cina muslim itu mulai memperkenalkan konsepsi kehidupan menurut ajaran Islam. Shalat misalnya, merupakan media komunikasi yang sangat intens antara hamba dan Tuhannya. Filosofi shalat menuntut seorang muslim untuk tunduk hanya kepada Sang Pencipta.

Di samping itu shalat merupakan media pengawasan-semacam waskat--yang paling ampuh untuk mengontrol tingkah laku seorang hamba agar selalu ingat kepada Tuhannya. Dengan demikian, hidup seorang manusia (hamba) akan selalu terpandu dengan nilai-nilai kebenaran.

Sebetulnya, saya tidaklah terlalu asing dengan Islam, karena kakek saya dari pihak bapak yang menjadi seorang Bek (kepala kampung) di Cibinong tahun 40-an adalah seorang Cina muslim. Hanya sayang, tidak ada satu pun di antara anak dan cucunya yang mengikuti jejaknya.

Akhirnya, niat saya bulat sudah, saya ingin masuk Islam. Tetapi sebelum itu, saya ingin meminta restu kepada orang tua saya. Setelah keinginan itu saya utarakan kepada orang tua, mereka hanya berpesan, kalau mau masuk Islam jangan karena motif untuk mencari keuntungan pribadi.

Buya HamkaBetapa bahagianya saya mempunyai orang tua yang tidak menghalangi niat suci saya. Mereka bahkan memberikan arahan. Singkatnya, pada bulan April 1980, bertempat di rumah Buya Hamka (almarhum), Ketua Umum MUI pada waktu itu, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.

Buya HamkaPada upacara pengislaman itu, turut hadir kawan-kawan saya sesama wartawan dan juga dari kalangan seniman dan orang-orang film. Bahkan, kemudian saya diangkat anak oleh Ny Eli Jamaluddin Malik (ibunda Camelia Malik), seorang tokoh muslimah NU.

Setelah menjadi seorang muslim, saya yang mendapat nama Islam, Muhammad Hassan, banyak mencari ilmu dari Prof. Amura (Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta) dan Dr. Mulya Tarmizi. Dengan demikian, di antara keluarga saya, hanya saya yang mengikuti jejak kakek saya, Ang Tek Hoat (Bek Cibinong), menjadi penganut Islam.

Tidak Memaksa Istri

Di samping belajar kepada orang-orang tertentu, saya juga sering mengadakan pengajian warga di rumah saya. Sampai saat itu, istri saya belum menjadi muslimah. Sebagai suami, saya tidak pemah memaksa istri dan ketiga orang anak saya untuk menjadi pengikut Muhammad Rasulullah saw, meski secara halus saya pernah mengajak. Saya ingin agar kesadaran untuk masuk Islam benar-benar keluar dari niat yang ikhlas, tanpa paksaan.

Alhamdulillah, dari seringnya mengadakan pengajian di rumah, akhirnya istri saya, Le Bi Nio alias Herawati, mulai
tertarik kepada Islam. Itu berkat pergaulannya dengan ibu-ibu yang sering datang ke tempat pengajian di runah kami, baru empat tahun kemudian, tepatnya ketika saya pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1984, istri saya baru mengikuti jejak saya untuk menjadi seorang muslimah. Allahu Akbar.

Akan halnya ketiga orang anak saya, hanya Indra, anak laki-laki saya yang paling bungsu yang mengikuti jejak kami(ayah ibunya) Sedangkan dua orang kakak Indra, tetap sebagai penganut Protestan.

Tentang ini, saya tidak ingin kedua orang anak saya masuk Islam dengan terpaksa. Saya khawatir, kalau mereka tidak akan menjadi muslim/muslimah yang baik lantaran terpaksa. Sebab hanya membuat malu, kalau mengaku muslim tetapi tidak melaksanakan ajaran dan syariat Islam. (Albaz

- dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar