Minggu, 06 September 2009

Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik

Judul Buku: Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik
Penulis: Martin Lings

Penerbit: Serambi, April 2007

Halaman: 668 Halaman

Judul Asli: Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, diterbitkan oleh The Islamic Texs Society, Cambridge, United Kingdom 1991

oleh Rusdi Mathari

SEHARI setelah tulisan Mohamad Guntur Romli berjudul Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen dimuat Kompas pada Sabtu 1 September 2007, wartawan senior, Bambang Bujono mengirim pesan pendek ke ponsel saya: “Sudah baca tulisan Guntur di Kompas?.” Saya paham, melalui pesan pendek itu, mas Bambu, begitu saya biasa memanggilnya— meminta saya untuk memberikan tanggapan, minimal tanggapan untuk mas Bambu pribadi. Saya telah membaca tulisan Guntur, dan menduga akan banyak reaksi yang berlebihan terhadap tulisan tersebut. Mungkin karena predikat Guntur sebagai aktivis Jaringan Islam Liberal, barangkali pula karena isinya yang dianggap tidak sesuai dengan arus besar “keinginan” umat Islam yang membacanya. Dugaan saya terbukti, setidaknya di beberapa milis yang saya ikuti, seperti Jurnalisme, banyak peserta milis yang protes. Beberapa di antaranya menyatakan agar Kompas, memuat juga tulisan yang membantah tulisan Guntur. Tapi tak ada usul dari peserta beberapa milis itu siapa yang harus membantah Guntur. Sedangkan, menurut saya, para pemrotes itu hanya bisa protes, tak berargumen dalam bentuk tulisan seperti yang dilakukan Guntur.

Bagi saya yang dibesarkan di Situbondo oleh tradisi pesantren NU, berpendidikan formal Muhammadiyah, dan mendapat banyak bacaan dari majalah Al Muslimin yang diterbitkan oleh Persis, Bangil; tulisan Guntur sebenarnya termasuk “kuno”, tidak perlu direspon secara reaktif apalagi berlebihan. Sumber-sumber rujukan yang menjadi dasar tulisan Guntur adalah sumber klasik, yang tak banyak dibaca untuk tidak menyebut rujukan itu dihindari oleh kebanyakan umat Islam. Dalam beberapa hal, tulisan itu sebagian juga mengambil dari Muhammad: His Life Based on the Earliset Source (1991) yang ditulis oleh Martin Lings, seorang sejarawan Inggris. Buku yang dipersembahkan Lings untuk Zia ul Haq, bekas Presiden Pakistan, itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Qomarudin dan diterbitkan oleh Serambi dengan judul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Oleh Republika buku ini dinilai luar biasa dan menyentuh.
Lings yang pernah bekerja sebagai asisten Penjaga Naskah dan Buku-Buku Ketimuran pada British Museum, mengungkap lebih lengkap, tentang hubungan kaum cerdik pandai kaum Kristen dengan Muhammad (semoga Allah memberinya rahmat dan kesejahteraan) meskipun kemudian argumen Lings dianggap sepi oleh kaum Kristen. Informasi tentang kenabian Muhammad menurut Lings sebenarnya sudah jelas, baik melalui risalah kitab suci (al Quran dan Injil) maupun sumber-sumber klasik: tidak pernah berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh keturunan, lingkungan, dan tentu saja campur tangan Tuhan. Tiga faktor itu, langsung dan tidak langsung telah menempatkan Muhammad sebagai nabi.

Dari garis keturunan, Muhammad adalah salah satu keturunan Ibrahim melalui Ismail. Nama yang disebut terakhir dilahirkan oleh Hajar budak Ibrahim dari Mesir yang dinikahi atas dorongan dan persetujuan Sarah, istri pertama Ibrahim. Ismail sendiri berarti “Tuhan telah mendengar”. Menjelang setahun setelah kelahiran Ismail, Sarah juga melahirkan anak Ibrahim dan diberi nama Ishak. Atas permintaan Sarah kepada Ibrahim pula, setelah kelahiran Ishak, Hajar dan Ismail diminta meninggalkan Kanaan. Genesis mengabadikan peristiwa yang dialami oleh Ismail dan Hajar melalui Kitab Kejadian pasal 21. Dalam ayat 10, Injil mengungkapkan, “Usirlah perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba itu akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku, Ishak.” Pada ayat 17 disebutkan, “Apakah yang engkau susahkan, Hajar? Jangan takut sebab Allah telah mendengar anak itu dari tempat ia terbaring.” Di dalam ayat 20, Ismail dikisahkan oleh Genesis menetap di gurun dan juluki sebagai pemanah (Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 1990). Nama Ismail setelah itu tak pernah disebutkan oleh Genesis kecuali dalam Mazmur pasal 84 ayat 7, yang secara tidak langsung memuji Ismail dan ibunya.

Bakaah dalam Bahasa Arab adalah Mekah. Dan di Mekah Ismail menurunkan banyak suku bangsa, yang terkuat adalah suku Fihr. Suku ini keturunan langsung Ismail dari jalur laki-laki, dan kemudian dikenal sebagai suku Quraisy. Adapun keturunan Ismail dari jalur perempuan disebut sebagai suku Quraisy Pinggiran. Karena pengaruhnya yang kuat, Quraisy dipercaya menjadi pemegang kekuasaan atas Mekah: melayani para peziarah yang datang ke Ka’bah. Sekitar empat abad setelah Masehi, Qushay seorang laki-laki Quraisy menikahi perempuan bernama Hulayl, keturunan Quraiy Pinggiran. Pernikahan itu membuahkan empat anak laki-laki, salah satunya diberi nama Abdul Manaf. Setelah menikah, Abdul Manaf mempunyai empat anak lelaki; Abdu Syams, Hasyim, Al Muththalib, dan Naufal.

Keliru besar jika ada yang menganggap Muhammad adalah keturunan langsung Al Muththalib. Muththalib dalam hal ini hanyalah kakek buyut tidak langsung dari Muhammad, karena kakek buyut Muhammad yang langsung adalah Hasyim saudara Muthathalib. Selain berkuasa atas Mekah, Hasyim inilah yang membangun dua rute perjalanan kafilah besar dari Mekah: kafilah musim dingin ke Yaman dan kafilah musim panas ke barat laut Arab. Di antara dua musim itu, rutenya diarahkan ke Palestina dan Syiria yang pernah menjadi jajahan Romawi dari Eropa. Salah satu pemberhentian utama dari kafilah musim panas adalah Yastrib (Madinah). Kendati mayoritas suku di sana adalah Arab, banyak kaum Yahudi yang menetap di Yastrib. Mereka menguasai oasis, dan tetap menjalankan agamanya sendiri, di luar kepercayaan pagan yang dianut hampir oleh sebagian besar suku Arab. Salah suku bangsa Yahudi yang berada di kota itu adalah Khazraj.

Hasyim menikahi Salmah, salah seorang perempuan dari suku Khazraj yang berpengaruh pada sukunya. Meskipun dari istri-istrinya yang lain Hasyim dikaruniai tiga putra, tidak ada yang lebih terkenal dibanding Syaibah, putra Hasyim dari perkawinannya dengan Salmah. Tidak seperti putra Hasyim yang lain yang tinggal di Mekah, Syaibah menetap di Yastrib bersama ibunya. Namun kepandaian Syaibah terdengar hingga di Mekah. Ketika Hasyim menyerahkan kekuasaan Mekah kepada Muththalib, sang adik, Muththalib lalu berinisiatif memungut Syaibah, keponakannya itu, untuk tinggal di Mekah. Karena Syaibah diboyong ke Mekah menggunakan unta milik Muththalib, orang-orang di Mekah lalu memanggil-manggil Syaibah dengan panggilan Abd al-Muththalib atau “budak Muththalib”. Sejak itulah, Syaibah menetap di Mekah dan dikenal dengan nama Abdul Muththalib.

Tentang Kaum Hanif

Dari Abdul Muththalib inilah, sejarah Mekah dan juga sejarah Muhammad, kelak banyak dicatat oleh al Quran dan juga oleh sejarah. Dia memiliki tiga belas anak laki-laki dan enam anak perempuan hasil dari pernikahannya dengan beberapa perempuan. Abd Allah, ayah Muhammad, adalah salah satu dari tiga belas putra Abdul Muththalib itu. Nama-nama lain dari putra Abdul Muththalib yang juga terkenal adalah Harits, Zubair, Hamzah, Abbas, Abu Lahab (musuh utama Muhammad dalam penyebaran Islam di Mekah), dan Abu Thalib (ayah dari Jafar dan Ali).

Ada kisah menarik, ketika Abd Allah akan dinikahkan dengan Aminah dari Bani Zuhra. Dalam perjalanan menuju puak itu, Abd Allah bersama Abdul Muththalib harus melewati daerah yang dihuni oleh Bani Asad, salah satu klan dari Quraisy. Bani ini, termasuk salah satu klan yang tetap mempertahankan kepercayaan Ibrahim di tengah masyarakat Quraisy yang pagan. Nama-nama yang terkenal dari klan ini adalah Khadijah, Waraqah, dan Qutaylah. Pada saat dua lelaki Quraisy itu melintas di wilayah Bani Asad itulah, Qutaylah (saudara perempuan Waraqah) berdiri di depan pintu rumahnya. Qutaylah memperhatikan kedua ayah-anak itu, namun perhatian utamanya tertuju kepada Abd Allah, laki-laki berusia 25 tahun.

Bukan baru sekali itu Qutaylah memperhatikan lelaki lewat. Tapi kali ini Abd Allah menarik perhatiannya secara istimewa. Memang, dalam hal ketampanan, Abd Allah adalah Yusuf pada zamannya. Tapi, bukan itu yang menarik Qutaylah. Muhammad ibn Ishaq di dalam buku Sirah Rasul Allah, Kehidupan Nabi edisi Wustendfeld, menggambarkan pada saat itu Qutaylah melihat cahaya pada wajah Abd Allah yang seolah memancar dari luar dunia. Qutaylah lalu tak bisa menahan diri untuk tidak menyapa dua lelaki itu dan kepada Abd Allah, dia menyatakan secara terus terang keinginannya: agar Abd Allah memilihnya sebagai istri. Mendapat “lamaran” yang tak disangka, Abd Allah hanya mampu menjawab bahwa dirinya menuruti ayahnya dan harus menikahi Aminah.
Sehari setelah pernikahan Abd Allah dengan Aminah, Abd Allah kembali bertemu dengan Qutaylah. Perempuan itu tak menyapa Abd Allah meski matanya menatap tajam. Ketika ditanya oleh Abd Allah ada apa, Qutaylah menjawab “ Cahaya yang ada padamu kemarin telah hilang. Hari ini engkau tak lagi bisa memenuhi harapanku.” Pernikahan itu berlangsung pada tahun 569 Masehi dan tahun setelah itu dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun ketika Muhammad dilahirkan.

Mengapa Qutaylah meminta Abd Allah untuk menjadi suaminya? Kendati sebagian besar suku Arab seperti Khuzaah, Hawazin, dan juga sebagian dari suku Quraisy adalah kaum pagan, sebagian kecil di antara mereka tetap mempertahankan agama Ibrahim atau setidaknya lebih dekat ke agama itu. Klan Hasyim dan Abdul Muththalib adalah salah satu di antara suku Qurays yang mempertahankan agama Ibrahim: tidak melakukan ritual penyembahan kepada berhala. Di luar mereka, Bani Asad termasuk klan yang menegakkan agama Ibrahim secara murni ,jauh dari sikap tradisional. Mereka dikenal sebagai kaum hanif atau ortodok yang menganggap berhala-berhala yang ada di Mekah najis dan menimbulkan polusi. Istilah hanif yang digunakan oleh Lings berbeda dengan yang digunakan oleh Guntur. Guntur menunjuk hanif untuk Bani Hasyim.

Penolakan mereka untuk berkompromi terhadap pemujaan berhala dan seringnya mereka bicara terang-terangan tentang agama Ibrahim, menyebabkan mereka menjadi golongan pinggiran dalam masyarakat Mekah. Abdul Muththalib mengenal salah satu dari kaum hanif itu, yaitu Waraqah, yang bersama kaumnya, Bani Asad, memeluk agama Kristen. Kaum inilah yang meyakini bahwa akan datang seorang nabi setelah Isa. Meskipun kepercayaan mereka tidak tersebar secara luas, mereka didukung oleh satu atau dua aliran besar gereja timur dan juga para astrolog dan para peramal. Mengenai kaum Yahudi –karena menurut mereka garis kenabian baru berakhir pada Mesias– hampir seluruhnya sepakat mengharapkan seorang nabi. Pendeta dan para rahib Yahudi meramalkan bahwa tanda-tanda kedatangan seorang nabi telah tiba, dan tentu saja nabi tersebut adalah seorang Yahudi, karena mereka mengklaim diri mereka sebagai bangsa pilihan.
Adapun kaum Kristen termasuk Waraqah meragukan hal itu. Mereka tidak melihat alasan mengapa nabi terakhir itu harus bukan Arab. Bangsa Arab di mata mereka lebih membutuhkan seorang nabi ketimbang kaum Yahudi, yang setidaknya masih mengikuti agama Ibrahim dan hanya menyembah satu Tuhan dan tidak menyembah berhala. Tidak ada yang bisa meluruskan bangsa Arab dan kesalahan agama mereka kecuali seorang nabi.

Ka’bah sebagai pusat Mekah dikelilingi 360 berhala. Jumlah itu belum termasuk berhala-berhala kecil dan besar yang disimpan di setiap rumah di Mekah sebagai penjaga rumah. Bila mereka melakukan kegiatan apa pun, khususnya jika hendak bepergian jauh, orang-orang Mekah itu akan menghadap berhala dan bersujud di depannya, memohon berkah dan keselamatan. Itu juga yang dilakukan oleh hampir semua bangsa Arab, termasuk sebagian masyarakat Arab Kristen di daerah selatan yaitu di Najran dan Yaman dan di utara dekat perbatasa Syria.

Nestor dan Bahirah

Abdul Muththalib dan kaumnya, Quraisy yang berkuasa atas Mekah dan juga suku-suku pagan tidak memusuhi orang Kristen. Kaum Kristen yang kadangkala datang untuk memberikan penghormatan pada maqam Ibrahim diterima baik oleh Quraisy seperti yang mereka lakukan kepada tamu-tamu yang lain. Pada salah satu dinding Ka’bah, kaum Kristen bahkan diberi kehormatan membuat lukisan Perawan Maria dan anaknya, Kristus –yang gambarnya jelas-jelas lebih menarik perhatian karena berbeda dengan gambar-gambar yang lain.

Waraqah yang dapat membaca dan telah mempelajari Injil dan teologi, mampu melihat suatu janji Kristus. Janji itu secara umum oleh umat Kristen dianggap merujuk ke Mukjizat Pantekosta. Meskipun bahasa mukjizat itu tak jelas (cryptic), mukjizat itu tersirat dalam Injil Yohanes pasal 16 ayat 13 “Ia tak akan berkata tentang dirinya, namun segala yang dapat ia dengar, itulah yang akan ia katakan.” Sebagai kakak, Waraqah sering membicarakan isi Injil dengan Qutaylah adiknya. Pembicaraannya tentang akan datangnya seorang nabi dan waktu kedatangan itu tidak akan lama lagi, sangat membekas pada diri Qutaylah. Itu sebabnya, ketika melihat Abd Allah, Qutaylah meminta lelaki itu menikahinya: karena pada wajah Abd Allah seolah ada cahaya seperti yang banyak diceritakan oleh para pendahulunya tentang tand-tanda kelahiran para nabi. Sejarah membuktikan bahwa pernyataan Qutaylah kepada Abd Allah sehari setelah pria itu menikah dengan Aminah — cahaya itu tak ada lagi pada wajahnya– menjadi kenyataan, karena cahaya (kenabian) itu berpindah kepada Muhammad, putranya; yang kemudian menjadi lebih terang.

Kendati Lings tidak menyimpulkan, namun sampai pada tahap ini terungkap bahwa dari garis keturunan, Muhammad adalah keturunan orang-orang pilihan dari garis Ismail, putra Ibrahim. Dengan demikian, menurut Lings, Ibrahim bukan hanya melahirkan dua anak dari dua istri, namun dari dua anak itu pula Ibrahim melahirkan dua bangsa, dua bangsa besar yang menjadi sarana “Kehendak Langit”, yang kepada kedua bangsa itu Allah bukan saja menjanjikan kemakmuran duniawi, juga keluhuran spritiual. Dua spiritual, dua agama, dua dunia bagi Tuhan; dua lingkaran dan karena itu juga dua pusat. Itulah tempat yang disucikan bukan atas pilihan manusia, namun telah menjadi ketetapan “Kerajaan Langit”. Ada dua pusat suci yang melingkupi Ibrahim: satu di daerahnya,di Kanaan,dan satu lagi di sebelah barat Kanaan, satu lembah tandus yang berjarak empat puluh hari perjalanan unta dari Kanaan, yaitu Bakah yang kemudian dikenal sebagai Mekah.
Tentang bagaimana pribadi dan perilaku Muhammad secara lahiriah, yang tampan, santun, jujur, cerdas, dan sebagainya juga dibahas terperinci oleh Lings. Dalam konteks kenabian Muhammad dan hubungannnya dengan kaum cerdik pandai Kristen, menurut Lings bukan saja terjadi pada tahun-tahun awal menjelang kelahiran Muhammad, namun juga setelah Muhammad beranjak dewasa, terutama sejak Muhammad memulai hubungan dengan Kahdijah, sepupu Waraqah.

Di Mekah, Khadijah adalah konglomerat yang cantik. Ia berurusan dengan Muhammad kali pertama ketika dia meminta Muhammad mewakilinya melakukan jual beli ke Syiria. Muhammad setuju, dan Kahdijah menawarkan Maysarah, budaknya, untuk menemani Muhammad. Dikisahkan oleh Muhammad ibn Sa’d dalam kitab at Thabaqat al Kabir edisi Leyden Belanda, kabilah dagang Muhammad tiba di Bostra (di selatan Syria), kota yang memiliki biara dan di dalamnya dihuni oleh pendeta Kristen dari masa ke masa, Di Bostra bila seorang pendeta meninggal, ia akan digantikan oleh yang lain, dan pengganti ini mewarisi seluruh isi biara termasuk manuskrip-manuskrip kuno. Salah satu manuskrip di Bostra itu berisi tentang ramalan akan datangnya seorang nabi kepada bangsa Arab.

Di Bostra Muhammad berteduh di bawah sebuah pohon, tidak jauh dari rumah Nestor, seorang pendeta Kristen. Bertanyalah Nestor kepada Maysarah, “Siapa orang yang berteduh di bawah pohon itu?” Maysarah lalu menjawab, “Dia orang Quraisy, dari keluarga penjaga Tanah Suci.” “Tidak, dia tak lain adalah seorang nabi,” kata Nestor. Jawaban Nestor itu sama dengan yang diberikan oleh Bahira, pendeta sebelum Nestor— ditempat yang sama, ketika pada usia sembilan tahun, Muhammad diajak oleh Abu Thalib sang paman berniaga ke Syria. Dibandingkan dengan Nestor, Bahirah lebih “mengenal” Muhammad, karena pada jamuan makan yang disediakannya untuk kabilah Abu Thalib itu Bahirah bahkan meminta Muhammad melepas jubahnya hanya untuk melihat punggung Muhammad.

Rahasia Namus

Keterangan pendeta Nestor itulah yang diceritakan oleh Maysarah kepada nyonyanya, sesampai mereka di Mekah. Khadijah lantas mengulang cerita Maysarah kepada sepupunya, Waraqah.”Telah lama aku tahu bahwa seorang nabi akan diutus dan saatnya kini telah tiba,” kata Waraqah.
Khadijahlah lalu melamar Muhammad untuk menjadi suaminya. Sebagai mas kawin, Muhammad membayar dua puluh ekor unta betina yang disampaikan oleh Hamzah, paman Muhammad. Ketika menikah dengan Muhammad, usia Khadijah sudah menginjak empat puluh tahun sementara itu Muhammad baru 25 tahun. Hingga masa sebelum Muhammad menerima wahyu kenabian, tak banyak riwayat yang menceritakan hubungan Muhammad dengan Khadijah.

Sejarah mencatat, pada suatu malam Muhammad yang ketakutan datang kepada Khadijah dan meminta istrinya itu untuk memeluk dan menyelimutinya. Sebelum malam itu, Muhammad adalah lelaki yang dikenal suka menyendiri dan menyepi (tahanmust) pada malam hari di gua di Bukit Hira’ tak jauh dari Mekah. Bagi orang Quraisy tahanmust bukan sesuatu yang asing dan menjadi praktik tradisional di kalangan keturunan Ismail. Muhammad melakukan itu sejak menikah dengan Khadijah hingga kejadian malam itu, tepat pada bulan Ramadhan tahun 636 Masehi: Muhammad disergap rasa takut luar biasa.

Ketika ketakutannya mereda, Muhammad menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya kepada Khadijah. Warqah yang kemudian mendapat cerita dari Kahdijah berkata bahwa yang mendatangi Muhammad adalah Namus. Dalam Bahasa Yunani Namus adalah Hukum Tuhan atau Roh. “Kudus, Kudus demi Tuhan yang menguasai jiwaku yang datang kepada Muhammad adalah Namus yang terbesar yang dulu juga mendatangi Musa. Sungguh dia adalah nabi bagi kaumnya. Yakinkan dia!” kata Waraqah yang saat itu sudah tua dan buta, kepada Khadijah.

Buku yang ditulis oleh Lings, sepenuhnya bercerita tentang Muhammad luar dalam, yang tersirat dan yang tersurat. Efek kimia dari narasi dan komposisi bahasa dari Lings dalam buku ini membawa jantung saya seolah berhenti berdetak. Selain mengungkap peran kaum cerdik kaum Kristen, Lings juga mengungkapkan bahwa Rayhanah salah satu istri Muhammad adalah orang Yahudi dari Bani Nadhir. Dari keseluruhan isi bukunya, Lings terlihat menempatkan Muhammad sebagai sosok yang patut dipuji dan berhak menjadi nabi. Saya menduga, dalam tulisannya di Kompas Guntur juga berpendirian sama dengan Lings, sehingga tak ada yang perlu diresahkan dari tulisan Guntur itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar